Rabu, 26 Maret 2014

Partisipasi orang kristen dalam Politik


Dasar Etis Teologis Tanggung Jawab dan Partisipasi Orang Kristen Dalam Politik
I.                   Pendahuluan
Dalam pandangan sekarang sudah banyak orang yang bersikap ekstrim tentang masalah politik. Banyak yang beranggapan politik itu kotor. Bagaimanakah sebenarnya pengertian politik yang sesungguhnya? Apakah memang politik itu kotor? Dan apa serta bagaimana partisipasi kita sebagai orang Kristen dalam kiprah politik ini? Apa kata etika Kristen tentang politik?.
II.                Pembahasan
2.1. Pengertian Politik
Kata politik berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: (polis) yang berarti “kota” dan para penduduk kota dan (tekhne) yang berarti “cara”. Jadi politik berarti cara menata kota supaya kota itu teratur dan para penduduknya hidup teratur dan rukun.[1] Sedangkan dalam KBBI sendiri menuliskan bahwa politik dapat diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan seperti sistem pemerintahan dan dasar pemerintahan dan bisa juga diartikan sebagai cara bertindak dan mengatur. Politik juga digunakan dalam mengatasi suatu masalah serta suatu siasat kebijaksanaan dalam pemerintahan baik keluar atau kedalam negeri yang menyangkut hal ekonomi, partai, organisasi dagang dll.[2]
2.2. Tujuan Politik
Politik di suatu negara menjadi berwarna ditentukan oleh seluruh warga negara itu dan yang menentukan suatu negara menjadi maju atau mundur ditentukan oleh warna politik suatu negara. Oleh karena itu kita perlu menyadari tanggung jawab dan partisipasi kita dalam masalah dunia politik. Sehinga tujuan politik adalah pengambilan keputusan yang sesuai dengan kepentingan umum demi terciptanya masyarakat yang baik, benar, adil dan sejahtera.[3]

2.3. Sistem – Sistem Politik
2.3.1.      Sistem Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, Demos yang berarti rakyat dan Kratein yang artinya pemerintah. Dengan demikian demokrasi berarti adanya kekuasaan tertinggi yang dipegang oleh rakyat. Demokrasi sebagai sistem pemerintah sudah digunakan sejak zaman Yunani kuno. Pada saat itu semua rakyat turut secara langsung membicarakan soal – soal pemerintah. Demokrasi itu disebut demikrasi langsung.[4] Ciri khas dari sistem politik ini adalah keputuan berada ditangan rakyat. Dalam sistem ini, demokrasi menjadi suatu sistem yang membuka debat dan diskusi untuk merumuskan suatu pendapat bersama – sama dengan kata lain segala perumusan dan keputusan sesuatu hal itu dilakukan secara bersama – sama atau musyawarah.[5]
2.3.2.      Sistem Aristokrasi
Aristokrasi berasal dari bahasa Yunani Arstos yang berarti yang terbaik dan Cratos yang artinya memerintah. Prinsip yang mendasari aristokrasi adalah kesadaran akan adanya percakapan yang berbeda dan keyakinan bahwa tidak semua orang dapat memerintah. Oleh karena itu prisnsip dari pada sistem politik ini adalah pemerintah suatu negara tidak akan tergantung pada sistem tapi pada kecakapan, kejujuran, kapasitas, atau kemampuan pada pemimpin.[6] Sistem Aristokrasi adalah sistem politik dimana pucuk pemerintahan dipegang oleh seorang raja yang bijaksana. Menurut Socrates sendiri, sistem Aristokrasi adalah sistem yang paling baik sebab setiap kelas dalam masyarakat melakukan fungsinya secara maksimal dan bekerja secara harmonis dibawah pimpinan seorang raja yang filsuf. Dengan kata lain sistem ini adalah sistem yang dijiwai dengan akal budi dengan filsafat pemimpinnya.[7]
2.3.3.      Sistem Monarkhi
Sistem monarkhi berasal dari bahasa Yunani yakni Monarchia dari akar kata Mono yang artinya tunggal dan kata Arche yang artinya memerintah. Ini merupakan sistem yang sudah tua dalam sistem kenegaraan di dunia.[8] T. B. Simatupang mengatakan bahwa penguasa dalam sistem ini tidak akan meninggalkan atau melepaskan tampuk kepemimpinannya sebelum ia berhasil membawa bangsanya kepada kemerdekaan yang ia impikan.[9]


2.4. Pandangan Etika Kristen Terhadap Politik
Politik adalah seni yang bersangkut paut dengan proses pengambilan keputusan oleh orang – orang yang berbeda kepentingannya, dimana pengambilan keputusan ini menyangkut masa depan banyak orang. Etika politik adalah kaidah – kaidah moral yang dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan semacam itu. Proses pengambilan keputusan itu disebut stategi. Etika jarang di hubungkan dengan politik, karena ada anggapan bahwa politik itu kotor, dan hanya berhasil kalau kotor. Tetapi pendapat itu tidak benar karena ada reformasi di bidang politik dan ada etika politik.[10] Dalam perspektif teologi kristen, etika politik merupakan upaya dan proses merealisasikan kehendak Allah dalam seluruh proses politik. Segala keputusan, tindakan dan cakupan politik harus didasari pada kehendak Allah. Hal yang harus dilakukan oleh etika politik adalah membangun dan mengembangkan suatu tatanan politik yang selain mengandung moralitas kristen, juga secara konkret merupakan pencerminan dari pernyataan Allah. Karena itu secara serius harus dilakukan upaya – upaya menggali Alkitab dalam rangka mempertanyakan realitas dan sekaligus memberi jawaban yang mengembangkan moralitas dalam politik.[11]
Pandangan etika kristen memandang, semua bidang hidup manusia dipandang dari sudut penyataan kehendak Tuhan, dalam diri Tuhan Yesus. Itulah sebabnya, ketika zaman imperium Romanum memperluas jajahan sampai daerah Yahudi, orang kristen, khusunya, tidak mau mengakui kaisar romawi sebagai Kurios (Tuhan). Orang kristen sudah mempunyai kurios sendiri yakni: kurios Yesus. Akhirnya hambatan terhadap orang Kristen dan gereja pada waktu itu terjadi dan dilakukan oleh pemerintah Romawi. Pengakuan kepada Yesus sebagai kurios merupakan pengakuan politis. Yesus adalah Raja atas segala raja di bumi. Kepada-Nya telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi (Mat. 28). Etika kristen di bidang politik bertujuan untuk menyelidiki apa arti pengakuan tersebut di bidang kenegaraan? Hal itu berarti etika politik kristiani adalah perbuatan yang dilakukan berdasarkan analisa akal budi dan keputusan batin akan hal yang baik dalam bidang politk agar sesuai dengan kehendak Tuhan. Dengan demikian etika kristen dalam bidang politik tidak berhak atau tidak berkuasa atau tidak bertugas untuk mengucapkan firman Tuhan tetapi menjadi petunjuk yang sederhana dan mengarahkan supaya semua negara dan bangsa harus tunduk kepada Tuhan dan firman-Nya.[12]
2.5. Partisipasi Orang Kristen Dalam Politik
Dalam Perjanjian Lama Yer. 29:7 mengatakan agar umat Israel yang terbuang ke Babel supaya mengusahakan kesejahteraan kota di mana mereka di buang. Mereka dinasehati untuk menyerahkan kota tersebut kepada Tuhan karena kesejahteraan kota itu juga merupakan kesejahteraan bangsa Israel. Disini sangat terlihat adanya hubungan antara kota dimana mereka dibuang, kesejahteraan kota merupakan kesejahteraan warganya terdiri akan umat Allah, jadi umat Allah akan berperan aktif dalam mensejahterakan kota tersebut.[13]
Sebagai orang Kristen yang tinggal di Indonesia kita juga memiliki tanggung jawab sebagai warga negara. Dalam hal ini kita memiliki dua kewarganegaraan yaitu warga negara kerajaan Allah ( 1 Yoh. 3:16) dan lalu kita diutus ke dunia Indonesia sehingga kita menjadi warga negara Indonesia. Oleh karena itu, kita disuruh Allah untuk berdoa demi kebaikan Indonesia (1 Tim. 2:1-2, Yes. 2:27). Sebagai orang Kristen kita harus menjadi garam dan terang di tengah – tengah masyarakat dan negara kita. Dengan sikap dan ketaatan kita kepada pemerintah sebagai warga negara yang baik merupakan tanggung jawab kita kepada Tuhan. Ketaatan kita kepada pemerintah adalah dalam rangka ketaatan kita kepada Allah (Kis. 5:29).[14]  
Dalam Perjanjian Baru orang kristen diserukan untuk aktif dalam bidang politik ( Fil. 1:27). Yang menggunakan bahasa Yunani Πολιτευεσθε yang berarti berpolitik atau jalanialah kehidupanmu selaku warga kota atau warga negara. Dalam teks berbahas inggris (New International Version) disebut: Conduct yourselve. Arti ini tentu mempunyai dimensi politik, agar anggota – anggota jemaat Filipi hidup sebagai warga kota dan warga negara yang memancarkan terang kekristenan sehingga sanggup membina keharmonisan dengan sesamannya warga.[15]
Dalam hubungan antara Tuhan sebagai pencipta dengan sejarah dunia dikatakan bahwa negara merupakan lembaga Tuhan karena menerima kuasa dan tanggung jawab dari Tuhan. Hal itu berarti negara adalah “hamba Tuhan” yang melakukan tugas kekuasaan, keadilan dan kasih sehingga negara wajib menghormati hak individu, mengawasi jangan sampai ada seorang yang merampas hak orang lain. Selain itu, negara juga harus menjamin kebebasan beragama dengan melakukan pelayanan kepada warga negara. Sedangkan kuasa dan tanggung jawab itu adalah melindungi dunia dari kekalutan (bandingkan dengan Maz. 72:1; Yoh. 19:11a; Rom. 12:1-2; 13:1-7; 1 Tim. 2:1-4; Tit. 3:1; 1 Pet. 2:13).[16]
2.6. Dasar Etis Teologis Tanggung Jawab dan Partisipasi Orang Kristen Terhadap Politik
Tanggung jawab sama artinya dengan kewajiban dan hak. Yang berarti bahwa setiap warga negara mengemban kewajiban dan mempunyai hak untuk turut menentukan keadaan dan kehidupan sosial politik di mana ia berada. Tanggung jawab politik pada hakikatnya merupakan keterlibatan di dalam memperjuangkan terwujudnya keadaan politik berdasarkan tujuan – tujuan dan ideal – ideal yang telah disepakati bersama yang telah disepakati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Umat kristen Indonesia dengan sendirinya juga memiliki dan mengemban tanggung jawab sosial dan politik yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya. Ini berarti bahwa umat kristen indonesia juga mengemban tugas untuk turut serta mewujudkan ideal – ideal dan cita – cita yang terkandung di dalam pancasila. Dengan demikian, umat kristen indonesia yang hendak mewujudkan tanggung jawab politiknya itu dikondisikan di dalam suatu segitiga acuan yang harus di pertimbangkan dan diperhitungkan secara baik dan tepat yaitu iman kristen itu sendiri, pancasila dan keyakinan – keyakinan religius lainnya di tengah – tengah pluralitas keagamaan.[17] 
Kemungkinan besar bahwa sumbangan terpenting yang dapat diberikan oleh umat kristen pada negara adalah menghayati eksistensinya sendiri sesuai dengan anggaran dasar dan aturannya yang sedemikian rupa sehingga berkumpul secara langsung dan sadar di sekitar intinya bersama, dan membentuk lingkaran dalam di tengah lingkaran luar itu. Kiranya gereja bereksistensi sebagai teladan sehingga menjadi sumber pembaharuan, kekuatan dan keteguhan untuk negara dan semuanya itu hanya berdasarkan eksistensinya yang khas. Percumalah pewartaan Injil oleh gereja itu, jika sifat dan sikapnya, anggaran dasar dan aturannya, pimpinan dan administrasinya tidak memperlihatkan secara praktis bahwa di bagian dalam diri lingkaran dalam itu orang – orang berpikir, bertindak dan berusaha dengan berpola pada injil itu, bahwa mereka berkumpul secara langsung dan sadar di sekitar inti sehingga terarah pada Kristus.[18]
Dimensi politik merupakan suatu bagian keberadaan manusia. Setiap orang tidak dapat menjauhkan diri dari politik karena mereka berpartisipasi dalam kehidupan politik serta mempengaruhi proses politik. Komunitas Kristen juga merupakan suatu faktor politik dimana prinsip – prisnsip etika politk kekristenan berdasarkan pada pengajaran Yesus dan sesuai dengan dasar dan struktur etika sosial. Walaupun seorang kristen misalnya berkata bahwa ia apolitical, sehingga ia tarik diri dari aktivitas politik, maka sebenarnya ia dalam hal itu sudah mengambil suatu keputusan politik.[19]    
Umat kristen adalah saksi atas Anak Manusia yang datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang. Ini berarti bahwa di dalam masyarakat ia tidak bersikap netral, tetapi memberi perhatian terutama kepada mereka yang berada di tingkat sosial yang rendah. Mereka yang lemah dari sudut pandang sosial dan ekonomi adalah mereka yang terancam, yang memerlukan kesetiakawanan dari pihak kristen. Umat kristen adalah persekutuan orang yang dipanggil oleh firman anugerah dan Roh kasih Allah agar hidup dalam kemerdekaan anak – anak Allah. Ini berarti bahwa dalam peralihannya ke dalam bentuk dan realitas politik umat Kristen mendukung hak asasi yang hendak dijamin oleh negara agar setiap warganya dapat hidup merdeka. Umat Kristen adalah persekutuan orang yang menjadi anggota suatu tubuh yang kepalanya adalah Tuhan sendiri. Dan karena itu terikat satu sama yang lain dan bertanggungjawab seorang terhadap yang lain. Itu sebabnya umat kristen memahami dan menafsirkan kebebasan politik ke arah tugas pokok yang dituntut daripadanya, yakni tanggung jawab.[20]
III.             Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat kami simpulkan bahwa politik dalam arti sesunggungnya tidaklah kotor. Sebab arti politik yang sesungguhnya adalah sebuah sarana atau alat pengambilan kebijakan dalam menentukan perjalanan suatu negara untuk membawa negara tersebut menjadi lebih baik, benar, adil dan sejahtera. Jadi berangkat dari pengertian politik ini maka dapat kami katakan bahwa orang Kriten harus bertanggung jawab dan terlibat dalam masalah politik sebagai warga negara yang baik.
IV.             Daftar Pustaka
Abdulkarim, Aim, Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Negara yang Demokrasi, Jakarta: Grafindo Media Pratama, 2007
Adzar, Muhammad, Filsafat Politik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Brotosudarmo, R. M. Drie S., Etika Kristen Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: ANDI, 2007
Green,Clifford, Karl Barth, Teologi Kemerdekaan – Kumpulan Cuplikan karya Karl Barth, Jakarta: BPK-GM, 1998
Gultom, R. M. S., Tanggung Jawab Warga Negara, Jakarta: BPK-GM, 1992
Nainggolan, Binsar, Pengantar Etika Terapan, Pematang Siantar: L-SAPA, 2007
Poerwadaminta,W. J. S., KBBI, Jakarta: Balai Pustaka, 1991
Purba, Frando, Rekaman Catatan Perkuliahan Mata Kuliah Etika II, Medan: STT-AS, 2012
Simatupang,T. B., Mengngkap Ketidakberdayaan Suatu Mitos, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991
Singgih, Emmanuel Gerrit, Iman dan Politik Dalam Era Reformasi, Jakarta: BPK-GM, 2000
Sirait, Saut, Politik Kristen di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2000
Verkuyl,J., Etika Kristen “Ras Bangsa, Gereja dan Negara”, Jakarta: BPK-GM, 1992



[1] Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan, (Pematang Siantar: L-SAPA, 2007), 38
[2] W. J. S. Poerwadaminta, KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 780
[3] Frando Purba, Rekaman Catatan Perkuliahan Mata Kuliah Etika II, (Medan: STT-AS, 2012)
[4] Aim Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Negara yang Demokrasi, (Jakarta: Grafindo Media Pratama, 2007), 109
[5] Muhammad Adzar, Filsafat Politik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 23
[6] Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2000), 34
[7] Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia, 34
[8] Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia, 51
[9] T. B. Simatupang, Mengngkap Ketidakberdayaan Suatu Mitos, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), 61
[10] Emmanuel Gerrit Singgih, Iman dan Politik Dalam Era Reformasi, (Jakarta: BPK-GM, 2000), 27 – 28
[11] Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia, 42
[12] R. M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen Untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: ANDI, 2007), 124 – 125
[13] J. Verkuyl, Etika Kristen “Ras Bangsa, Gereja dan Negara”, (Jakarta: BPK-GM, 1992), 88
[14] Frando Purba, Rekaman Catatan Perkuliahan
[15] Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan, 38 - 39
[16] R. M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen Untuk Perguruan Tinggi, 126
[17] R. M. S. Gultom, Tanggung Jawab Warga Negara, (Jakarta: BPK-GM, 1992), 33 – 36
[18] Clifford Green, Karl Barth, Teologi Kemerdekaan – Kumpulan Cuplikan karya Karl Barth, (Jakarta: BPK-GM, 1998), 365 – 366
[19] Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan, 39
[20] Clifford Green, Karl Barth, Teologi Kemerdekaan, 367

Tidak ada komentar:

Posting Komentar