Dasar
Etis Teologis Tanggung Jawab dan Partisipasi Orang Kristen Dalam Politik
I.
Pendahuluan
Dalam pandangan sekarang sudah banyak orang yang bersikap
ekstrim tentang masalah politik. Banyak yang beranggapan politik itu kotor.
Bagaimanakah sebenarnya pengertian politik yang sesungguhnya? Apakah memang
politik itu kotor? Dan apa serta bagaimana partisipasi kita sebagai orang
Kristen dalam kiprah politik ini? Apa kata etika Kristen tentang politik?.
II.
Pembahasan
2.1.
Pengertian Politik
Kata politik
berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: (polis)
yang berarti “kota” dan para penduduk kota dan (tekhne) yang berarti “cara”. Jadi politik berarti cara menata kota
supaya kota itu teratur dan para penduduknya hidup teratur dan rukun.[1]
Sedangkan dalam KBBI sendiri menuliskan bahwa politik dapat diartikan sebagai
pengetahuan mengenai ketatanegaraan seperti sistem pemerintahan dan dasar
pemerintahan dan bisa juga diartikan sebagai cara bertindak dan mengatur.
Politik juga digunakan dalam mengatasi suatu masalah serta suatu siasat
kebijaksanaan dalam pemerintahan baik keluar atau kedalam negeri yang
menyangkut hal ekonomi, partai, organisasi dagang dll.[2]
2.2. Tujuan Politik
Politik di suatu negara menjadi berwarna ditentukan oleh
seluruh warga negara itu dan yang menentukan suatu negara menjadi maju atau
mundur ditentukan oleh warna politik suatu negara. Oleh karena itu kita perlu
menyadari tanggung jawab dan partisipasi kita dalam masalah dunia politik.
Sehinga tujuan politik adalah pengambilan keputusan yang sesuai dengan
kepentingan umum demi terciptanya masyarakat yang baik, benar, adil dan
sejahtera.[3]
2.3. Sistem – Sistem
Politik
2.3.1. Sistem
Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, Demos yang berarti rakyat dan Kratein yang artinya pemerintah. Dengan
demikian demokrasi berarti adanya kekuasaan tertinggi yang dipegang oleh
rakyat. Demokrasi sebagai sistem pemerintah sudah digunakan sejak zaman Yunani
kuno. Pada saat itu semua rakyat turut secara langsung membicarakan soal – soal
pemerintah. Demokrasi itu disebut demikrasi langsung.[4] Ciri
khas dari sistem politik ini adalah keputuan berada ditangan rakyat. Dalam
sistem ini, demokrasi menjadi suatu sistem yang membuka debat dan diskusi untuk
merumuskan suatu pendapat bersama – sama dengan kata lain segala perumusan dan
keputusan sesuatu hal itu dilakukan secara bersama – sama atau musyawarah.[5]
2.3.2. Sistem
Aristokrasi
Aristokrasi berasal dari bahasa Yunani Arstos yang berarti yang terbaik dan Cratos yang artinya memerintah. Prinsip
yang mendasari aristokrasi adalah kesadaran akan adanya percakapan yang berbeda
dan keyakinan bahwa tidak semua orang dapat memerintah. Oleh karena itu
prisnsip dari pada sistem politik ini adalah pemerintah suatu negara tidak akan
tergantung pada sistem tapi pada kecakapan, kejujuran, kapasitas, atau
kemampuan pada pemimpin.[6]
Sistem Aristokrasi adalah sistem politik dimana pucuk pemerintahan dipegang
oleh seorang raja yang bijaksana. Menurut Socrates sendiri, sistem Aristokrasi
adalah sistem yang paling baik sebab setiap kelas dalam masyarakat melakukan
fungsinya secara maksimal dan bekerja secara harmonis dibawah pimpinan seorang
raja yang filsuf. Dengan kata lain sistem ini adalah sistem yang dijiwai dengan
akal budi dengan filsafat pemimpinnya.[7]
2.3.3. Sistem
Monarkhi
Sistem monarkhi berasal dari bahasa Yunani yakni Monarchia dari akar kata Mono yang artinya tunggal dan kata Arche yang artinya memerintah. Ini
merupakan sistem yang sudah tua dalam sistem kenegaraan di dunia.[8] T.
B. Simatupang mengatakan bahwa penguasa dalam sistem ini tidak akan
meninggalkan atau melepaskan tampuk kepemimpinannya sebelum ia berhasil membawa
bangsanya kepada kemerdekaan yang ia impikan.[9]
2.4. Pandangan
Etika Kristen Terhadap Politik
Politik adalah seni yang bersangkut paut dengan proses
pengambilan keputusan oleh orang – orang yang berbeda kepentingannya, dimana
pengambilan keputusan ini menyangkut masa depan banyak orang. Etika politik
adalah kaidah – kaidah moral yang dipertimbangkan dalam proses pengambilan
keputusan semacam itu. Proses pengambilan keputusan itu disebut stategi. Etika
jarang di hubungkan dengan politik, karena ada anggapan bahwa politik itu
kotor, dan hanya berhasil kalau kotor. Tetapi pendapat itu tidak benar karena
ada reformasi di bidang politik dan ada etika politik.[10]
Dalam perspektif teologi kristen, etika politik merupakan upaya dan proses
merealisasikan kehendak Allah dalam seluruh proses politik. Segala keputusan,
tindakan dan cakupan politik harus didasari pada kehendak Allah. Hal yang harus
dilakukan oleh etika politik adalah membangun dan mengembangkan suatu tatanan
politik yang selain mengandung moralitas kristen, juga secara konkret merupakan
pencerminan dari pernyataan Allah. Karena itu secara serius harus dilakukan
upaya – upaya menggali Alkitab dalam rangka mempertanyakan realitas dan
sekaligus memberi jawaban yang mengembangkan moralitas dalam politik.[11]
Pandangan etika kristen memandang, semua bidang hidup
manusia dipandang dari sudut penyataan kehendak Tuhan, dalam diri Tuhan Yesus.
Itulah sebabnya, ketika zaman imperium Romanum memperluas jajahan sampai daerah
Yahudi, orang kristen, khusunya, tidak mau mengakui kaisar romawi sebagai Kurios (Tuhan). Orang kristen sudah
mempunyai kurios sendiri yakni: kurios Yesus. Akhirnya hambatan terhadap
orang Kristen dan gereja pada waktu itu terjadi dan dilakukan oleh pemerintah
Romawi. Pengakuan kepada Yesus sebagai kurios
merupakan pengakuan politis. Yesus adalah Raja atas segala raja di bumi.
Kepada-Nya telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi (Mat. 28). Etika
kristen di bidang politik bertujuan untuk menyelidiki apa arti pengakuan tersebut
di bidang kenegaraan? Hal itu berarti etika politik kristiani adalah perbuatan
yang dilakukan berdasarkan analisa akal budi dan keputusan batin akan hal yang
baik dalam bidang politk agar sesuai dengan kehendak Tuhan. Dengan demikian
etika kristen dalam bidang politik tidak berhak atau tidak berkuasa atau tidak
bertugas untuk mengucapkan firman Tuhan tetapi menjadi petunjuk yang sederhana
dan mengarahkan supaya semua negara dan bangsa harus tunduk kepada Tuhan dan
firman-Nya.[12]
2.5. Partisipasi Orang
Kristen Dalam Politik
Dalam Perjanjian Lama Yer. 29:7 mengatakan agar umat
Israel yang terbuang ke Babel supaya mengusahakan kesejahteraan kota di mana
mereka di buang. Mereka dinasehati untuk menyerahkan kota tersebut kepada Tuhan
karena kesejahteraan kota itu juga merupakan kesejahteraan bangsa Israel.
Disini sangat terlihat adanya hubungan antara kota dimana mereka dibuang,
kesejahteraan kota merupakan kesejahteraan warganya terdiri akan umat Allah,
jadi umat Allah akan berperan aktif dalam mensejahterakan kota tersebut.[13]
Sebagai orang Kristen yang tinggal di Indonesia kita juga
memiliki tanggung jawab sebagai warga negara. Dalam hal ini kita memiliki dua
kewarganegaraan yaitu warga negara kerajaan Allah ( 1 Yoh. 3:16) dan lalu kita
diutus ke dunia Indonesia sehingga kita menjadi warga negara Indonesia. Oleh
karena itu, kita disuruh Allah untuk berdoa demi kebaikan Indonesia (1 Tim.
2:1-2, Yes. 2:27). Sebagai orang Kristen kita harus menjadi garam dan terang di
tengah – tengah masyarakat dan negara kita. Dengan sikap dan ketaatan kita
kepada pemerintah sebagai warga negara yang baik merupakan tanggung jawab kita
kepada Tuhan. Ketaatan kita kepada pemerintah adalah dalam rangka ketaatan kita
kepada Allah (Kis. 5:29).[14]
Dalam Perjanjian Baru orang kristen diserukan untuk aktif
dalam bidang politik ( Fil. 1:27). Yang menggunakan bahasa Yunani Πολιτευεσθε
yang berarti berpolitik atau jalanialah kehidupanmu selaku warga kota atau
warga negara. Dalam teks berbahas inggris (New
International Version) disebut: Conduct yourselve. Arti ini tentu mempunyai
dimensi politik, agar anggota – anggota jemaat Filipi hidup sebagai warga kota
dan warga negara yang memancarkan terang kekristenan sehingga sanggup membina
keharmonisan dengan sesamannya warga.[15]
Dalam hubungan antara Tuhan sebagai pencipta dengan
sejarah dunia dikatakan bahwa negara merupakan lembaga Tuhan karena menerima
kuasa dan tanggung jawab dari Tuhan. Hal itu berarti negara adalah “hamba
Tuhan” yang melakukan tugas kekuasaan, keadilan dan kasih sehingga negara wajib
menghormati hak individu, mengawasi jangan sampai ada seorang yang merampas hak
orang lain. Selain itu, negara juga harus menjamin kebebasan beragama dengan
melakukan pelayanan kepada warga negara. Sedangkan kuasa dan tanggung jawab itu
adalah melindungi dunia dari kekalutan (bandingkan dengan Maz. 72:1; Yoh.
19:11a; Rom. 12:1-2; 13:1-7; 1 Tim. 2:1-4; Tit. 3:1; 1 Pet. 2:13).[16]
2.6. Dasar Etis
Teologis Tanggung Jawab dan Partisipasi Orang Kristen Terhadap Politik
Tanggung jawab sama artinya dengan kewajiban dan hak.
Yang berarti bahwa setiap warga negara mengemban kewajiban dan mempunyai hak
untuk turut menentukan keadaan dan kehidupan sosial politik di mana ia berada.
Tanggung jawab politik pada hakikatnya merupakan keterlibatan di dalam
memperjuangkan terwujudnya keadaan politik berdasarkan tujuan – tujuan dan
ideal – ideal yang telah disepakati bersama yang telah disepakati dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Umat kristen Indonesia dengan sendirinya
juga memiliki dan mengemban tanggung jawab sosial dan politik yang sama dengan
warga negara Indonesia lainnya. Ini berarti bahwa umat kristen indonesia juga
mengemban tugas untuk turut serta mewujudkan ideal – ideal dan cita – cita yang
terkandung di dalam pancasila. Dengan demikian, umat kristen indonesia yang
hendak mewujudkan tanggung jawab politiknya itu dikondisikan di dalam suatu
segitiga acuan yang harus di pertimbangkan dan diperhitungkan secara baik dan
tepat yaitu iman kristen itu sendiri, pancasila dan keyakinan – keyakinan
religius lainnya di tengah – tengah pluralitas keagamaan.[17]
Kemungkinan besar bahwa sumbangan terpenting yang dapat
diberikan oleh umat kristen pada negara adalah menghayati eksistensinya sendiri
sesuai dengan anggaran dasar dan aturannya yang sedemikian rupa sehingga
berkumpul secara langsung dan sadar di sekitar intinya bersama, dan membentuk
lingkaran dalam di tengah lingkaran luar itu. Kiranya gereja bereksistensi
sebagai teladan sehingga menjadi sumber pembaharuan, kekuatan dan keteguhan
untuk negara dan semuanya itu hanya berdasarkan eksistensinya yang khas.
Percumalah pewartaan Injil oleh gereja itu, jika sifat dan sikapnya, anggaran
dasar dan aturannya, pimpinan dan administrasinya tidak memperlihatkan secara
praktis bahwa di bagian dalam diri lingkaran dalam itu orang – orang berpikir,
bertindak dan berusaha dengan berpola pada injil itu, bahwa mereka berkumpul
secara langsung dan sadar di sekitar inti sehingga terarah pada Kristus.[18]
Dimensi politik merupakan suatu bagian keberadaan
manusia. Setiap orang tidak dapat menjauhkan diri dari politik karena mereka
berpartisipasi dalam kehidupan politik serta mempengaruhi proses politik.
Komunitas Kristen juga merupakan suatu faktor politik dimana prinsip – prisnsip
etika politk kekristenan berdasarkan pada pengajaran Yesus dan sesuai dengan
dasar dan struktur etika sosial. Walaupun seorang kristen misalnya berkata
bahwa ia apolitical, sehingga ia
tarik diri dari aktivitas politik, maka sebenarnya ia dalam hal itu sudah
mengambil suatu keputusan politik.[19]
Umat kristen adalah saksi atas Anak Manusia yang datang
untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang. Ini berarti bahwa di dalam masyarakat
ia tidak bersikap netral, tetapi memberi perhatian terutama kepada mereka yang
berada di tingkat sosial yang rendah. Mereka yang lemah dari sudut pandang
sosial dan ekonomi adalah mereka yang terancam, yang memerlukan kesetiakawanan
dari pihak kristen. Umat kristen adalah persekutuan orang yang dipanggil oleh
firman anugerah dan Roh kasih Allah agar hidup dalam kemerdekaan anak – anak
Allah. Ini berarti bahwa dalam peralihannya ke dalam bentuk dan realitas
politik umat Kristen mendukung hak asasi yang hendak dijamin oleh negara agar
setiap warganya dapat hidup merdeka. Umat Kristen adalah persekutuan orang yang
menjadi anggota suatu tubuh yang kepalanya adalah Tuhan sendiri. Dan karena itu
terikat satu sama yang lain dan bertanggungjawab seorang terhadap yang lain.
Itu sebabnya umat kristen memahami dan menafsirkan kebebasan politik ke arah
tugas pokok yang dituntut daripadanya, yakni tanggung jawab.[20]
III.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat kami simpulkan bahwa politik
dalam arti sesunggungnya tidaklah kotor. Sebab arti politik yang sesungguhnya
adalah sebuah sarana atau alat pengambilan kebijakan dalam menentukan
perjalanan suatu negara untuk membawa negara tersebut menjadi lebih baik,
benar, adil dan sejahtera. Jadi berangkat dari pengertian politik ini maka
dapat kami katakan bahwa orang Kriten harus bertanggung jawab dan terlibat
dalam masalah politik sebagai warga negara yang baik.
IV.
Daftar Pustaka
Abdulkarim, Aim, Pendidikan
Kewarganegaraan: Membangun Negara yang Demokrasi, Jakarta: Grafindo Media
Pratama, 2007
Adzar, Muhammad, Filsafat
Politik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Brotosudarmo, R. M. Drie S., Etika Kristen Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: ANDI, 2007
Green,Clifford, Karl
Barth, Teologi Kemerdekaan – Kumpulan Cuplikan karya Karl Barth, Jakarta:
BPK-GM, 1998
Gultom, R. M. S., Tanggung
Jawab Warga Negara, Jakarta: BPK-GM, 1992
Nainggolan, Binsar, Pengantar
Etika Terapan, Pematang Siantar: L-SAPA, 2007
Poerwadaminta,W. J. S., KBBI, Jakarta: Balai Pustaka, 1991
Purba, Frando, Rekaman
Catatan Perkuliahan Mata Kuliah Etika II, Medan: STT-AS, 2012
Simatupang,T. B., Mengngkap
Ketidakberdayaan Suatu Mitos, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991
Singgih, Emmanuel Gerrit, Iman dan Politik Dalam Era Reformasi, Jakarta: BPK-GM, 2000
Sirait, Saut, Politik
Kristen di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2000
Verkuyl,J., Etika
Kristen “Ras Bangsa, Gereja dan Negara”, Jakarta: BPK-GM, 1992
[4] Aim
Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan:
Membangun Negara yang Demokrasi, (Jakarta: Grafindo Media Pratama, 2007),
109
[9] T. B.
Simatupang, Mengngkap Ketidakberdayaan
Suatu Mitos, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), 61
[10] Emmanuel
Gerrit Singgih, Iman dan Politik Dalam
Era Reformasi, (Jakarta: BPK-GM, 2000), 27 – 28
[12] R. M. Drie
S. Brotosudarmo, Etika Kristen Untuk
Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: ANDI, 2007), 124 – 125
[18] Clifford
Green, Karl Barth, Teologi Kemerdekaan –
Kumpulan Cuplikan karya Karl Barth, (Jakarta: BPK-GM, 1998), 365 – 366
Tidak ada komentar:
Posting Komentar